Monthly Archives: March 2014

jalan tengah tanggung jawab renteng – edit


PPN adalah pajak tidak langsung. Yang memikul beban PPN adalah pembeli tetapi kewajiban menyetor PPN adalah penjual.  Kenapa jadi repot, langsung saja…, pembeli bayar PPN ke kas negara supaya lebih sederhana. Sederhana bagaimana? …, sangat tidak mungkin, hari ini pembeli membeli barang kemudian pergi ke bank untuk membayar PPN.

Oke, sekarang penjual aja yang setor PPN. Pembeli membeli barang plus PPN nya dan biarlah penjual yang menyetor PPN nya. Kalau penjual pasti bayar sih ga apa2,  loh kalau uang PPN pembeli tidak disetor,  bagaimana?. Kalau anda end user tidak masalah. Kalau anda mau jual itu barang, bagaimana.. Anda tentu tidak mau memikul beban PPN. PPN disetor hanya atas dasar nilai tambah. Artinya sebesar selisih PPN yang anda pungut (pajak keluaran) dan PPN yang dipungut penjual (pajak masukan).

Jika pajak masukan merupakan semata-mata tanggung jawab penjual maka negara mempunyai potensi kerugian jika ternyata pajak masukan tersebut yang  dikreditkan tidak disetor penjual. Namun jika sebelum mengkreditkan pajak masukan,  pembeli harus konfirmasi ke bank KPP penjual atas pelaporan SPT PPN juga sangat tidak mungkin karena terbatasnya waktu dan sangat mahal dari segi waktu dan biaya.

Muncul lah tanggung renteng seperti diatur dalam UU PPN Pasal 16 F, isinya ” Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran pajak, sepanjang tidak dapat menunjukkan bukti bahwa Pajak telah dibayar”

Dalam Penjelasannya disebutkan “Sesuai dengan prinsip beban pembayaran pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah adalah pada pembeli atau konsumen barang atau penerima jasa. Oleh karena itu sudah seharusnya apabila pembeli atau konsumen barang dan penerima jasa bertanggung jawab renteng atas pembayaran pajak yang terutang apabila ternyata bahwa pajak yang terutang tersebut tidak dapat ditagih kepada penjual atau pemberi jasa dan pembeli atau penerima jasa tidak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual atau pemberi jasa”.

Aturan tanggung jawab renteng, sebelumnya ada di UU KUP pasal 33 yang kemudian dihapus pada UU KUP nomor 28 tahun 2007. Isi dari UU PPN pasal 16 F hampir sama bahkan nyaris copy paste dari UU KUP pasal 33. Tanggung jawab renteng juga diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor tahun pasal 4, inilah isinya,

1. Pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan PajakPenjualan atas Barang Mewah.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberlakukan dalam hal:
a. pajak yang terutang tersebut dapat ditagih kepada penjual barang atau pemberi jasa; atau
b. pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak dapat menunjukkan bukti telah melakukan pembayaran pajak kepada penjual barang atau pemberi jasa.

Tanggung jawab renteng sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditagih melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang perpajakan.

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelaksanaan tanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Me wah diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Untuk ayat 1, penjelasannya: Tanggung renteng melekat pada pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak atas transaksi pembelian Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean.

Ayat (2), (3), (4) Cukup jelas

Penjual dan pembeli mempunyai tanggung jawab meskipun jika kita bicara teori pajak tidak langsung semestinya kewajiban pembeli hanya membayar barang plus PPN nya karena pembeli lah pemikul beban PPN tersebut dan kewajiban menyetor PPN ada di penjual.

Lalu bagaimana di lapangan?. Pembeli langsung mengkreditkan pajak masukan karena seperti yang telah disebutkan diatas, tidak mungkin penjual konfirmasi ke bank dan ke KPP dimana penjual terdaftar atas kebenaran faktur pajak masukan.  Lalu apakah hal itu dapat dibenarkan?. Mari kita lihat pengertian pajak masukan dan faktur pajak.

Sesuai UU PPN pasal 1 angka 24, Pajak Masukan adalah PPN yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang Kena Pajak. Kata “seharusnya” saya bold karena sewajarnya kita bertanya kenapa harus ada kata “seharusnya” dalam sebuah Undang-undang.

Lalu bagaimana jika kata “seharusnya” dihilangkan. Akibatnya faktur pajak hanya bisa dikreditkan jika memang telah dibayar.  Ini lebih ideal, namun untuk saat ini masih tidak mungkin karena seperti yang telah disebutkan berulang kali tidak mungkin, pembeli mengkonfirmasi ke KPP dan ke ke bank atas kebenaran faktur pajak dan pembayaran PPN penjual.

Seiring perkembangan teknologi informasi,  konfirmasi pajak masukan ke KPP penjual dan kebenaran penyetoran nya ke bank menjadi sangat mungkin. Namun masih perlu waktu, integrasi data pembeli, penjual,  KPP dan perbankan memerlukan biaya yang sangat mahal.

Kembali ke kata “seharusnya” dan pengertian pajak masukan.  Atas dasar inilah, PKP berhak mengkreditkan pajak masukan sepanjang memenuhi syarat untuk dikreditkan. Pengkreditan pajak masukan, salah satunya diatur dalam UU PPN pasal 9 ayat 8. Kita kutip saja apa isinya,
Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untuk:
a. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

b. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pengusaha tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;

c. perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan staaion wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;

d. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;

e. dihapus;

f. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak memenuhi Faktur Pajaknya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) atau ayat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;

g. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau p emanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6); 

h. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;

i. perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan; dan

j. perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2a).

Perhatikan!!!!! ,, dalam ayat ini tidak disebutkan bahwa tidak ada ketentuan yang menyebutkan bahwa faktur pajak yang tidak disetor oleh penjual. Kenapa?, karena kewajiban memungut PPN ada di penjual dan bukan urusannya pembeli.

Lalu bagaimana penerapan aturan tanggung jawab renteng di lapangan?. Salah satunya adalah melalui pemeriksaan. Pemeriksa akan melakukan koreksi pajak masukan jika jawaban hasil konfirmasi pajak masukan tidak ada. KPP yang menjawab konfirmasi pun akan melakukan himbauan kepada penjual yang telah menerbitkan faktur untuk menyetor PPN bahkan menerbitkan ketetapan pajak. Hal ini menjadi tidak normal, PPN dikenakan dua kali. Secara matematis, jika penjual membetulkan SPT PPN dan menyetor PPN maka pajak masukan pembeli tidak dikoreksi. Sebaiknya, jika pajak masukan pembeli dikoreksi maka penjual tidak perlu menyetor PPN. Hitungan matematis ini tidak bisa diterapkan karena aturan dalam undang-undang tidak semata mengatur hitungan matematis tetapi juga efek jera dan ke hati-hatian. Seperti juga pajak masukan yang ditemukan pada waktu dilakukan pemeriksaan tidak dapat dikreditkan.

Saat ini, sedang dibuat e-faktur. Salah satunya, pembuatan faktur pajak oleh penjual akan langsung terkoneksi dengan kantor pajak dan pembeli. Dengan demikian pembeli dapat mengetahui apakah pajak masukan yang akan dikreditkan telah dilaporkan dalam SPT PPN pembeli. Dasar hukum faktur pajak elektronik telah ada yaitu 151/PMK.011/2013. Tentu saja masih banyak aturan yang harus disesuaikeun seperti definisi pajak masukan dan teknologi informasi yang applicable.

Harapannya, e-faktur bisa menjadi salah satu solusi dari dispute tanggung jawab renteng. Dimana pembeli hanya bisa mengkreditkan pajak masukan yang telah dilaporkan. Atau pembeli langsung bisa mengkreditkan pajak masukan dan KPP secara sistem langsung membuat ketetapan pajak bagi penjual yang telah membuat faktur pajak dan telah dikreditkan oleh pembeli.


Legal karakter PPN


1. Pajak tidak langsung. Yang memikul beban PPN adalah pembeli tetapi yang mempunyai kewajiban membayar ke kas negara adalah penjual. Inilah yang disebut tidak langsung. Kewajiban membayar PPN tidak langsung dikenakan kepada pembeli tetapi melalui pihak lain yaitu penjual.

2. Pajak objektif. PPN dikenakan kepada pembeli dengan tanpa memperhatikan kondisi pembeli. Apakah pembeli itu itu layak kena pajak apa tidak. Sepanjang mengkonsumsi barang ia harus memikul beban pajak. Objek PPN adalah penyerahan barang atau jasa kena pajak. Kalau melakukan penyerahan kena pajak berarti harus kena pajak. Bandingkan dengan pajak subjektif seperti pajak Penghasilan. Pajak penghasilan sangat memperhatikan subjek nya. Kalau penghasilan subjek pajak dibawah PTKP ia tidak wajib bayar PPh.

3. Multi stage levy dan non kumulatif. PPN dikenakan pada chain atau rantai produksi dan distribusi. Multi stage diterapkan karena tujuan akhir PPN adalah end user.  Sebenarnya, pabrikan dan distributor tidak membayar PPN. Ia membayar PPN karena menjadi perantara atau ada dalam chain ke end user.  Jika distributor tidak mengambil margin atau tidak membuat nilai tambah maka tidak ada PPN yang disetor bahkan jika lebih besar pajak masukan dari pajak keluaran bisa lebih bayar.
Agar tidak terjadi pajak berganda maka diterapkan indirect substraction method. Bisa juga disebut credit method karena adanya pengkreditan pajak masukan atas pajak keluaran atau invoice method karena kewajiban membuat faktur dan faktur pajak merupakan sarana pengkreditan pajak masukan.

4. Indirect substraction method. PPN dikenakan atas nilai tambah. Sesuai namanya, pajak atas pertambahan nilai. Untuk menghitung PPN atas nilai tambah dihitung dengan 2 methode yaitu penambahan (addition method). Addition method ada yang langsung (direct) yaitu dengan mengalikan tarif PPN dengan hasil penjumlahan unsur-unsur nilai tambah, ada juga yang tidak langsung (indirect) dengan mengalikan tarif dengan masing-masing unsur-unsur pembentuk nilai tambah kemudian dijumlahkan.
Metode kedua dengan pengurangan (substraction method). Pengurangan ada yang langsung yaitu dengan mengalikan tarif PPN dengan selisih harga jual dan harga beli, ada juga yang indirect yaitu dengan mengurangi pajak keluaran dengan pajak masukan. Indonesia menggunakan indirect substraction method.

5. Pajak atas konsumsi dalam negeri. Pajak atas konsumsi mengandung arti PPN bukan pajak atas kegiatan usaha karena yang memikul beban pajak adalah konsumen. Tujuan akhir PPN adalah mengenakan pajak atas pengeluaran konsumsi (a tax on consumption expenditure). Sedangkan dalam negeri sesuai dengan destination principle. Oleh karena itu atas impor dikenakan PPN karena dikonsumsi di dalam negeri sedangkan atas barang ekspor tidak dikenakan PPN. Dalam UU PPN atas ekspor dikenakan PPN dengan tarif 0%.

6. Single rate. Tarif PPN tunggal karena jika berbeda menjadi tidak netral. Tarif UU PPN sebesar 10% untuk setiap transaksi, untuk penyederhanaan di lapangan terdapat tarif efektif dibawah 10% dan tarif teknis untuk ekspor sebesar 0%. Jika tarif berbeda akan menyebabkan tidak netral dan bisa menimbulkan distorsi.

7. PPN Indonesia menggunakian Consumption type VAT. Semua pajak masukan dapat dikreditkan sepanjang memenuhi ketentuan formal dan material. Tujuannya PPN hanya membebani personal consumption saja.

Dikutip dari:
1. Buku diklat  DTSS PPN Tingkat Menengah dengan judul Karakteristik,  Perkembangan, Objek dan Subjek PPN
yang disusun Gathot Subroto.
2. humala70.blogspot.com/2008/06/pengantar-pengenalan-ppn.html?m=1