Monthly Archives: January 2014

Formulir SPT PPh Pasal 21 Baru


PER-14/PJ/2013 tentang bentuk, isi, tata cata pengisian dan penyampaian SPT Masa PPh pasal 21/26 berlaku mulai masa Januari 2014. Lalu bagaimana jika SPT Pembetulan.  Kita kutip saja isi pasal 8 nya dengan sedikit modifikasi,  cekidot,

Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau pembetulan untuk masa pajak sampai dengan Masa Pajak November 2013 yang dilakukan sejak berlakunya Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir SPT Masa PPh Pasal 21/26 baru.

Yang paling jelas kita baca pasal 8 ayat 2 nya,

Dalam hal Pemotong melakukan penyampaian SPT Masa PPh Pasal 21/26 atau pembetulan untuk masa pajak Desember 2013 yang dilakukan:

a. sampai dengan tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan formulir lama.

b.setelah tanggal 20 Januari 2014, penyampaian dan/atau pembetulan tersebut dilakukan dengan menggunakan formulir baru.

Kesimpulannya,  SPT Normal dan pembetulan setelah tanggal 20 Januari 2014 menggunakan SPT Masa PPh Pasal 21/26 baru.

PER ini merubah bentuk SPT Masa PPh Pasal 21/26. Beberapa perubahan yang penting, diantaranya penambahan formulir, pemberian kode objek pajak,  pembakuan nomor bukti potong, pencantuman kode negara,  penghapusan form 1721 T (Daftar Perubahan Pegawai Tetap (masuk/keluar/baru ber-NPWP)). Selain masalah formulir,  yang paling penting, adanya kewajiban e-SPT bagi pemberi kerja yang penerima penghasilannya lebih dari 20 orang, bahkan jika SSP nya lebih 20 pun wajib e-SPT.

Berikut ini, nama induk dan  lampiran SPT PPh Pasal 21/26 yang membuat dahi anda berkerut. Tenang saja lampiran itu tidak harus dilampirkan (keadaan tertentu saja). Kita lihat saja apa formulir itu,

1.  Formulir 1721: Induk SPT Masa PPh Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

2. Formulir 1721-I: Daftar Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap dan Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala serta bagi Pegawai Negeri Sipil, Anggota Tentara Nasional Indonesia, Anggota Polisi Republik Indonesia, Pejabat Negara dan Pensiunannya.

3. Formulir 1721-II: Daftar Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) dan/atau Pasal 26.

4. Formulir 1721-III: Daftar Bukti Pewmotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final).

5. Formulir 1721IV: Daftar Surat Setoran Pajak (SSP) dan/atau Bukti Pemindahbukuan (Pbk) untuk Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal 26.

6. Formulir 1721V: Daftar Biaya.

7. Formulir 1721-VI :Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Tidak Final) atau Pasal 26.

8. Formulir 1721-VII: Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 (Final).

9. Formulir 1721-A1: Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 bagi Pegawai Tetap atau Penerima Pensiun atau Tunjangan Hari Tua/Jaminan Hari Tua Berkala.

10. Formulir 1721-A2: Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 Bagi Pegawai Negeri Sipil atau Anggota Tentara Nasional Indonesia atau Anggota Polisi Republik Indonesia atau Pejabat Negara atau Pensiunannya.

Pas mantap. Jumlah induk dan lampiran pas ada10. Namun tidak semuanya harus dilampirkan tiap bulan. Kita lihat isi pasal 7. Isi pasal 7 ini jika kita ringkas sebagai berikut:
1. e-SPT: hanya induk yang diprint dan tetap ditandatangani.
2. Kertas: Induk SPT tentu saja harus ada dan ditandatangani. Formulir lainnya bersifat kondisional. Penjelasannya sebagai berikut:

a. Formulir 1721-I dalam hal ada pemotongan PPh Pasal 21 bagi Pegawai Tetap. Pensiun,  THT, JHT, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya

b. Formulir 1721-II dan VI dalam hal ada pemotongan PPh Pasal 21/26 (Tidak Final).

c. Formulir 1721-III dan VII dalam hal ada pemotongan PPh Pasal 21 (final)

d. Formulir 1721-IV dalam hal ada penyetoran dan pemindahbukuan PPh Pasal 21/26.

Lalu, dimanakah 1721 A1 dan A2 berada?. Formulir ini tetap ada dan tetap dilaporkan sekali. Hanya di masa Desember dan direkap dengan 1721 I. Jadi pada masa Desember ada dua formulir 1721 I. Satu untuk masa Desember, satu lagi untuk satu tahun.  Dengan catatan tambahan, jika ada pemotongan PPh atas pegawai tetap.

Formulir ini digunakan untuk melaporkan pemotongan PPh Pasal 21 untuk:
a. satu masa pajak. dilakukan pada setiap masa pajak (Januari s/d Desember).
b. satu tahun pajak. dilakukan pada masa pajak Desember. Oleh karena itu, pada masa pajak Desember Pemotong melaporkan pemotongan PPh dengan menggunakan formulir ini yang meliputi 2 (dua) set yaitu untuk pelaporan masa pajak Desember dan untuk pelaporan satu tahun pajak

Formulir yang paling jarang dipakai adalah 1721 V. Formulir ini hanya disampaikan pada masa pajak Desember oleh Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan.

Bagi yang sudah terbiasa menggunakan e-SPT PPh Pasal 21, perubahan formulir ini hampir tidak berarti.  Yang WAJIB dilakukan hanya satu. Install e-SPT PPh Pasal 21 yang baru. Isi seperti biasa yang tentu saja ada bedanya dibanding e-SPT lama. Bedanya, untuk SPT baru ini harus mengisi formulir 1721 I di e-SPT setiap bulannya.  Yang diprint tetap induknya saja.

Sekarang kita refresh lagi nama formulir nya.
1721: Induk
1721 I: Rekap 1721 A1 / A2
1721 II : Rekap bukti potong PPh Tidak Final (1721 VI)
1721 III: Rekap bukti potong PPh Final (1721 VII)
1721 IV: Rekap SSP
1721 V: Daftar biaya, hanya untuk Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan seperti Joint venture dan disampaikan hanya di Desember.

Untuk saat pelaporan,  kita refresh kembali.
1. 1721 I dilaporkan tiap bulan, jika ada pemotongan PPh Pasal 21 atas pegawai tetap. Khusus Desember ada dua 1721 I.  Satu untuk masa Desember, satu lagi untuk satu tahun. Pada aturan lama hanya pada masa Desember. Aturan baru setiap bulan.

2. 1721 A1 / A2 masih seperti dulu. Dilaporkan hanya pada masa Desember.

3. 1721 V hanya pada masa Desember dan hanya untuk untuk Wajib Pajak yang tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan seperti Joint venture.

Satu lagi, bukan formulir dan bukan saat pelaporan.  Ini sangat penting bagi Pemberi kerja.  Jika penerima Penghasilan sudah diatas 20 orang. Maka wajib e-SPT.

Kode negara bisa dilihat di lampiran III PER-14/PJ/2013, tepatnya di petunjuk pengisian bukti potong PPh tidak final (1721 VI). Nah yang juga BENAR-BENAR BARU, pencantuman NOMOR INDUK KEPENDUDUKAN (NIK) untuk WP dalam negeri dan  NOMOR PASSPORT untuk WP luar negeri. Jika ini dapat terlaksana dengan baik maka aturan ini sebuah langkah kecil menuju integrasi data Nasional.  Ups, maaf jika kata-katanya berlebihan….

Yang baru juga cara penulisan nomor bukti potong. Format penulisan Bukti Potong PPh Tidak Final (1721 VI) adalah 1 . 3 – mm . yy – xxxxxxx.

Keterangan:
1 . 3  :  kode bukti pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal 26 untuk Bukti Potong PPh Tidak Final (1721 VI)
mm  :  diisi masa pajak
yy  :  diisi dua digit terakhir dari tahun pajak
xxxxxxx  :  diisi nomor urut.
Nomor urut berlanjut selama satu tahun pajak. Saat memasuki tahun pajak berikutnya, nomor urut dimulai kembali dari 0000001.

Format penulisan untuk “– mm . yy – xxxxxxx” pada semua bukti potong sama. Yang beda hanya kode bukti pemotongan PPh Pasal 21 atau Pasal 26 atau 3 karakter di depan. Tepatnya hanya karakter ke-3.

Nah, sekarang kita tulis format penulisan nomor semua bukti potong PPh Pasal 21.
1. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Tidak Final) / 26 (Formulir 1721 VI): 1 . 3 – mm . yy – xxxxxxx.

2. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 (Final) (Formulir 1721 VII): 1 . 4 – mm . yy – xxxxxxx.

3. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi Pegawai Tetap,  Pensiun,  THT, JHT (Formulir 1721 A1) : 1 . 1 – mm . yy – xxxxxxx.

4. Bukti Pemotongan PPh Pasal 21 Bagi PNS,  Anggota TNI, Anggota POLRI, Pejabat Negara, dan Pensiunannya (Formulir 1721 A2): 1 . 2 – mm . yy – xxxxxxx.

Jika anda pusing,  kita balik saja menjadi urut nomor, sehingga menjadi sebagai berikut:
1. Nomor 1 . 1 – mm . yy – xxxxxxx untuk formulir 1721 A1.

2. Nomor 1 . 2 – mm . yy – xxxxxxx untuk formulir 1721 A2.

3. Nomor 1 . 3 – mm . yy – xxxxxxx untuk formulir 1721 VI.

4. Nomor 1 . 4 – mm . yy – xxxxxxx untuk 1721 VII.

Setelah membuat nomor,  kita lihat kode objek PPh Pasal 21. Kita harus mengetahuinya karena ketika melakukan pemotongan,  kita hanya menulis kode saja, sedangkan uraian Penghasilan tidak ditulis. Inilah kode-kodenya.

PPh PASAL 21 TIDAK FINAL
1.   21-100-03 Upah Pegawai Tidak Tetap atau Tenaga Kerja Lepas.
2.   21-100-04: Imbalan Kepada Distributor Multi Level Marketing (MLM).
3.   21-100-05: Imbalan Kepada Petugas Dinas Luar Asuransi.
4.   21-100-06: Imbalan Kepada Penjaja Barang Dagangan.
5.   21-100-07: Imbalan Kepada Tenaga Ahli.
6.   21-100-08: Imbalan Kepada Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Bersifat Berkesinambungan.
7.   21-100-09: Imbalan Kepada Bukan Pegawai yang Menerima Penghasilan yang Tidak Bersifat Berkesinambungan.
8.   21-100-10: Honorarium atau Imbalan Kepada Anggota Dewan Komisaris atau Dewan Pengawas yang tidak Merangkap sebagai Pegawai Tetap.
9.   21-100-11: Jasa Produksi, Tantiem, Bonus atau Imbalan Kepada Mantan Pegawai.
10.   21-100-12: Penarikan Dana Pensiun oleh Pegawai.
11.   21-100-13: Imbalan Kepada Peserta Kegiatan.
12.   21-100-99: Objek PPh Pasal 21 Tidak Final Lainnya.

PPh PASAL 26
1.   27-100-99: Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun dan pembayaran berkala lainnya yangdipotong PPh Pasal 26.

Kode objek PPh Tidak Final sebagai berikut:

1.   21-401-01: Uang Pesangon yang Dibayarkan Sekaligus.
2.   21-401-02: Uang Manfaat Pensiun, Tunjangan Hari Tua, atau Jaminan Hari Tua yang Dibayarkan Sekaligus.
3.   21-402-01: Honor dan Imbalan Lain yang Dibebankan kepada APBN atau APBD yang Diterima oleh PNS, Anggota TNI/POLRI, Pejabat Negara dan Pensiunannya.
4.   21-499-99O: bjek PPh Pasal 21 Final Lainnya.

Untuk pengisian formulir 1721 A1 dan A2,  kodenya sebagai berikut:

1.   21-100-01: untuk penghasilan yang diterima oleh Pegawai Tetap.

2.  21-100-02: untuk penghasilan yang diterima oleh Penerima Pensiun secara teratur

Lalu bagaimana cara mengisi Dasar Pengenaan Pajak dan Tarifnya?…, Jawabannya panjang, panjaaaang dan sangat panjang dan jawaban tersebut ada di PER-31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26 sehubungan dengan Pekerjaan, Jasa, dan Kegiatan Orang Pribadi.

Begitulah pemahaman saya tentang PER-14/PJ/2013. Semoga bermanfaat. Kalau masih bingung, silahkan membaca aturan tersebut atau mengisi comment dibawah ini.


Pengembalian Kelebihan Pajak


Berikut ini adalah ringkasan yang saya kutip dari sosialisasi PMK nomor 198/PMK.03/2013. Ringkasan ini memudahkan kita dalam memahami peta pengembalian pajak. Aslinya sih dalam bentuk tabel, tapi karena saya belum bisa membuat tabel di WordPress versi Android. Jadi beginilah adanya…

Dasar Hukum >>> Penetapan >>> Keterangan >>> Produk Hukum

Pasal 17 (1) UU KUP >>> pemeriksaan >>> kredit pajak / jumlah pajak yang dibayar > jumlah pajak yang te
rutang >>> SKPLB

Pasal 17 (2) UU KUP >>> verifikasi >>> pajak yang seharusnya tidak terutang >>> SKPLB

Pasal 17B UU KUP >>>  pemeriksaan >>> WP mengajukan restitusi (Selain 17C / 17D) >>> SKPLB

Pasal 17C UU KUP >>> penelitian >>> WP Ktiteria Tertentu >>> SKPPKP

Pasal 17D UU KUP >>> penelitian >>> WP Persyaratan Tertentu >>> SKPPKP

Pasal 17E UU KUP >>> pemrosesan di bandara >>> pengembalian PPN bagi turis asing >>> SKPLB

Pasal 9 (4c) UU PPN >>> penelitian >>> PKP Risiko Rendah >>> SKPPKP

Kita akan bingung apa perbedaan kriteria dan persyaratan?. Kriteria ada di pasal 17C. Persyaratan ada di pasal 17D. Wajib Pajak kriteria tertentu, dulunya dikenal dengan Wajib Pajak Patuh. Wajib Pajak Persyaratan Tertentu diberikan fasilitas karena jumlah lebih bayar nya relatif kecil sehingga pengembalian pajak tidak perlu dilakukan pemeriksaan,  cukup penelitian saja.

Dari tabel diatas,  kita bisa menyimpulkan bahwa pengembalian pajak bisa dengan 3 cara yaitu pemeriksaan,  verifikasi dan penelitian. Ouput dari 3 cara ini ada 2 yaitu SKPLB dan SKPPKP. 

Sekarang mari kita lihat, isi dari beberapa pasal yang ada di tabel tersebut:

1. Pasal 17 (1) UU KUP: Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.

Jika kita berhenti membacanya, maka kita menyimpulkan bahwa untuk melakukan pengembalian pajak harus ada pemeriksaan terlebih dahulu. Oleh karena itu kita harus membaca ayat berikutnya.

2. Pasal 17 (2) UU KUP: Berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Nah, setelah membaca ayat kedua,  kita akan mengetahui bahwa pengembalian pajak juga bisa dilakukan dengan selain pemeriksaan. Di ayat kedua ini tidak disebutkan namanya, kata-katanya ” setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak”. Aturan turunannya ada di peraturan Menteri Keuangan nomor 146/PMK.03/2012 dan SE-48/PJ/2012.  Kegiatan ini disebut dengan verifikasi.

Sampai disini kita telah mengetahui bahwa pengembalian pajak itu bisa dengan pemeriksaan dan verifikasi.  Lanjut Gan…..

3. Pasal 17B:
Ayat (1) Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17C dan
Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17D, harus
menerbitkan surat ketetapan pajak
paling lama 12 (dua belas) bulan
sejak surat permohonan diterima
secara lengkap.

Ayat (1a): Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku terhadap Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan

Ayat 2. Apabila setelah melampaui jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Direktur Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan
pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap
dikabulkan dan Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar harus diterbitkan paling lama 1 (satu)
bulan setelah jangka waktu
tersebut berakhir.

Ayat 3. Apabila Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar terlambat diterbitkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dihitung sejak
berakhirnya jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar.

Ayat (4). Apabila pemeriksaan bukti permulaan tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) tidak dilanjutkan dengan penyidikan; dilanjutkan dengan penyidikan, tetapi tidak dilanjutkan dengan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan; atau dilanjutkan dengan penyidikan dan penuntutan tindak pidana di bidang perpajakan, tetapi diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, dan dalam hal kepada Wajib Pajak diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, kepada Wajib Pajak diberikan imbalan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak berakhirnya jangka waktu 12 (dua belas) bulan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan saat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

OK, sudah bacanya?…, kalau masih belum ngerti tidak usah di baca lagi nanti malah mumet. Kita sederhana kan saja. Pasal 17 B mengatur:
▶ pemeriksaan mempunyai batas waktu 12 bulan sejak permohonan diterima lengkap.
▶ Apabila SKPLB terlambat maka Wajib Pajak mendapat imbalan bunga.

Tapi kok ada kata bukti permulaan, 2%, dan penyidikan? …, Nah berarti anda ingin versi lengkap nya, silahkan baca lagi isi pasal selengkapnya. Kan sudah saya bilang, kita sederhana kan. OK, kita baca pasal berikutnya.

5. Pasal 17C:
Ayat 1: Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu, menerbitkan Surat
Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan,
dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.

Ayat (2): Kriteria tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan;
2. tidak mempunyai tunggakan
pajak untuk semua jenis pajak,
kecuali tunggakan pajak yang
telah memperoleh izin untuk
mengangsur atau menunda
pembayaran pajak;
3. Laporan Keuangan diaudit oleh
Akuntan Publik atau lembaga
pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat
Wajar Tanpa Pengecualian
selama 3 (tiga) tahun berturut-
turut; dan
4. tidak pernah dipidana karena
melakukan tindak pidana di
bidang perpajakan berdasarkan
putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum
tetap dalam jangka waktu 5
(lima) tahun terakhir.

Ayat (3): Wajib Pajak dengan kriteria
tertentu sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan dengan
Keputusan Direktur Jenderal Pajak.

Ayat (4): Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dan menerbitkan surat ketetapan pajak, setelah melakukan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak.

Ayat (5): Apabila berdasarkan hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar jumlah kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen) dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.

Ayat (6): Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak apabila:
1. terhadap Wajib Pajak tersebut
dilakukan tindakan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
2. terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 2 (dua) Masa Pajak berturut-turut;
3. terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Masa untuk suatu jenis pajak tertentu 3 (tiga) Masa Pajak dalam 1 (satu) tahun kalender; atau
4. terlambat menyampaikan Surat
Pemberitahuan Tahunan.

Ayat (7): Tata cara penetapan Wajib Pajak dengan kriteria tertentu diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.

Ketemulah kita dengan “penelitian”. Wajib Pajak ini diberikan pengembalian pajak tanpa pemeriksaan dan tanpa verifikasi.  Melainkan dengan penelitian dengan waktu sangat singkat, 3 bulan untuk SPT Tahunan PPh dan 1 bulan untuk SPT Masa PPN.  Bandingkan dengan pemeriksaan yang 1 tahun. 

Pasal 17C yang telah anda baca ini populer dengan  Wajib Pajak Patuh. Jika anda search Wajib Pajak Patuh di Undang undang pajak maka tidak akan ketemu. UU KUP menyebut nya dengan Kriteria Tertentu. Wajib Pajak ini mendapat fasilitas karena secata formal telah patuh seperti sudah diaudit akuntan publik, tepat waktu menyampaikan SPT,  tidak mempunyai tunggakan pajak.

Konon, Wajib Pajak enggan menggunakan pasal 17C karena sanksi berat menanti yaitu 100% dari kekurangan pajak. Biasanya sanksi pajak itu 2% per bulan.

Next…

6. Pasal 17D:
Ayat (1): Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan penelitian atas
permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak dari
Wajib Pajak yang memenuhi
persyaratan tertentu, menerbitkan
Surat Keputusan Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pajak
paling lama 3 (tiga) bulan sejak
permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Penghasilan,
dan paling lama 1 (satu) bulan
sejak permohonan diterima secara
lengkap untuk Pajak Pertambahan
Nilai.

Ayat (2): Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dapat diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang
tidak menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan jumlah
peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan  jumlah tertentu;
3. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan
jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu; atau
4. Pengusaha Kena Pajak yang
menyampaikan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan jumlah penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.

Ayat (3): Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Ayat (4): Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan menerbitkan surat ketetapan pajak setelah melakukan pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak.

Ayat (5): Jika berdasarkan hasil
pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) Direktur
Jenderal Pajak menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
jumlah pajak yang kurang dibayar
ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% (seratus persen).

Pasal 17D ini memberikan kemudahan kepada Wajib Pajak yang jumlah lebih bayarnya relatif kecil.  Tapi ingat sanksi juga menanti berupa kenaikan 100 %.

Ah, sudah lah. Pusing aku. Bacaan seperti ini tidak asyik. Lebih enak baca novel atau Tabloid BOLA.

Plissss, tunggu sebentar. Sedikit lagi.., satu pasal lagi. OK, hanya 1 pasal.

7. Pasal 17E: Orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan pembelian Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah pabean dapat diberikan pengembalian
Pajak Pertambahan Nilai yang telah dibayar, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Selesai dah bacanya. Pasal terakhir yang anda baca tidak berlaku bagi anda.  Nah loh, lalu untuk siapa? …. Pasal ini berlaku untuk orang asing yang belanja di Indonesia.  Jika anda ke Singapura dan belanja, ketika anda mau pulang, anda mendapat uang saku. Baik bener. ..

Uang yang anda terima tersebut disebut dengan tax refund. Kalau anda membaca dasar dasar perpajakan. Tentu pernah mendengar bahwa PPN mempunyai karakter destination principle dan pajak atas konsumsi yang artinya PPN itu dikenakan hanya atas konsumsi dalam negeri. Itulah sebabnya ekspotir dapat meminta kembali pajak Masukan yang telah dibayar.  Demikian juga  turis asing, karena barang yang dibeli di Indonesia akan dikonsumsi di luar negeri maka PPN yang telah dibayar dapat diminta kembali. 

Selesai,  ya anda telah selesai memba UU KUP. Lalu apa pasal dibawah ini. Ini adalah pasal yang ada di UU PPN….cape deh. ….

Tidak banyak kok hanya satu pasal di UU PPN. Mariiiii…..

8. Pasal 9 ayat 4C UU PPN: karena mempunyai Keterkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya, kita kutip juga ayat 4 nya. Isinya sebagai berikut:

Ayat (4): Apabila dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar daripada Pajak Keluaran selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Ayat (4a): Atas kelebihan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat diajukan permohonan pengembalian pada akhir tahun buku.

Ayat (4b): Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimasud pada ayat (4) dan ayat (4a), atas kelebihan Pajak Masukan dapat diajukan permohonan pengembalian pada setiap Masa Pajak oleh:
a. Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Berwujud;
b. Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak kepada Pemungut Pajak Pertambahan Nilai;
c. Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang Pajak Pertambahan Nilainya tidak dipungut;
d. Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan ekspor Barang Kena
Pajak Tidak Berwujud;
e. Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan ekspor Jasa Kena
Pajak; dan/atau
f. Pengusaha Kena Pajak dalam
tahap belum berproduksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2a).

Ayat (4c): Pengembalian kelebihan Pajak Masukan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (4b) huruf a sampai dengan huruf e, yang mempunyai kriteria sebagai Pengusaha Kena Pajak berisiko rendah, dilakukan dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Perubahannya.

Ini yang menarik. Apanya yang menarik? …baca lagi deh pasal 9 ayat 4. Dua kali aja.

Sudah bacanya…, ketemu ga yang menarik nya.  Tidak ketemu?.., memang tidak ada yang menarik.  Mari kita sedikit berteori alias mengoceh ga karuan.

Dalam PPN ada Pajak Masukan (PM) dan Pajak Keluaran (PK). Normalnya, PK lebih besar dari PM dan selisihnya itulah yang harus disetor ke kas negara.  Namun bisa juga PM lebih besar dari PK sehingga menjadi lebih bayar. Nah dalam UU PPN ini lebih bayar tersebut harus dikompensasikan ke masa pajak berikutnya. Tidak bisa langsung dikembalikan. Bisa dikembalikan tapi pada akhir tahun buku. Tidak percaya…, lihat kembali pasal 9 ayat 4 dan 4a.

Loh, cashflow saya gimana dong. Kata Wajib Pajak. Anda pasti pernah mendengar time value of money, bahkan time is more money. Oke oke…, anda bisa minta pengembalian pajak setiap bulan tapi terbatas ya…lihat kembali pasal 4b. Pengusaha Kena Pajak ini diberikan pengembalian Pajak karena secara aturan pasti lebih bayar. 

Ekspotir, supplier Pemungut PPN, PPN tidak dipungut dan PKP yang belum produksi pasti lebih bayar. Namun ternyata… ada syarat-syarat nya. Lihat berikut nya ke pasal 9 ayat 4C. Jadi yang diberikan pengembalian pendahuluan harus mempunyai kriteria PKP Risiko Rendah yang diatur dalam PMK-71/
PMK.03/2010 yaitu:
1. Perusahaan go public yang 40% sahamnya diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan
tidak pernah dibuper dan disidik dalam jangka waktu 2 tahun terakhir
2. BUMN/D yang mayoritas sahamnya dimiliki langsung oleh pemerintah daerah atau
pusat  dan tidak pernah dibuper dan disidik dalam jangka waktu 2 tahun terakhir
3. Produsen rusahaan go public dan selain BUMN/D yang memenuhi kriteria:
a. Tepat waktu dalam penyampaian SPT Masa PPN 1 tahun terakhir
b. Nilai BKP yang dijual pada tahun sebelumnya paling sedikit 75% produk sendiri
c.Laporan keuangan pada 2 tahun sebelumnya diaudit akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa pengecuaian.

Jika kita hanya membaca UU PPN, maka sangat jelas,  pengembalian pajak setiap masa pajak untuk PPN sangat-sangat terbatas. Masa sih…., monggo dibaca lagi pasal 9 ayat 4. Namun jika kita kembali membaca pasal 17 ayat (1), (2) dan pasal 17B UU KUP. Pengusaha Kena Pajak yang lebih bayar dapat mengajukan permohonan pengembalian pajak dengan pasal ini melalui pemeriksaan.

Loh gimana sih, kan di UU PPN harus dikompensasi kecuali akhir tahun buku atau PKP Risiko Rendah.  Bingung lagi…, baca lagi pasal 9 ayat 4 UU PPN. Balik maning… Balik maning. ..