Category Archives: belajar menulis

Keberadaan


“Mas, masih ingat aku ga, kita satu kelas di………”, kataku sambil mengulur tangan menawarkan jabat tangan. Ia tertegun, mencoba mengingat dan gagal.  “Sepertinya pernah ketemu…, dimana ya….”, berusaha ramah dan menerima jabat tangan. Sebelum obrolan berlanjut,  ia beranjak dari kursi ke luar kantin dan minta maaf karena sudah ditunggu temannya.

Kejadian itu mengusik dan mengecewakanku hingga menimbulkan rasa sedih, tersinggung dan menyentilku sampai ke pinggir kehidupan. Bukti bahwa ada dikotomi ada dan hilang, eksis dan lenyap, pahlawan dan penonton. Sialnya aku berada di pinggir sehingga yang di pusaran lupa keberadaanku.

Kawan lama itu sama sekali tidak meminggirkanku. Ia memang lupa. Yang salah adalah aku tidak membangun keberadaanku sehingga aku berada di memori kawan tersebut. Tapi apakah harus seperti itu?..  Hari berganti dan memori datang kemudian menghilang dengan sedikit kenangan manis dan pahit yang tertinggal. Rupanya tidak ada kenangan luar biasa yang aku simpan di memori otaknya, hanya hinggap sejenak dan terbang. Aku terlampau biasa. Bahkan sangat biasa sehingga tidak layak untuk diingat.

Kita hidup dalam kompetisi untuk menjadi top dan hit sehingga munculah box office,  rating,  top brand, ranking dan lainnya. Ketika anda tidak mampu mencapai top of mind. Anda harus rela dianggap tiada. Seperti prinsip ekonomi, bagaimana dengan sumber daya tetbatas kita bisa memenuhi keinginan yang tidak terbatas. Memori yang terbatas tidak mungkin mampu mengingat informasi yang tidak terbatas.

Lalu, apakah kita harus menjadi luar biasa, top, dan berada di pucuk kehidupan agar kita dapat manghujamkan kenangan ke memori otak semua orang. Ah…., pertanyaan ini terlalu jauh. Cara terbaik adalah menjadi diri sendiri dan melakukan hal yang menyenangkan. Orang ingat atau tidak kepada kita hanyalah impact dari apa yang kita lakukan dan kenapa kita harus memperdulikannya. Idealnya anda bahagia melakukannya dan pekerjaan itu berguna bahkan bisa membahagikan orang banyak, wow pekerjaan apa itu?..

Syukurlah, ada yang berani meragukan paradigma ekonomi. Bahwa demokratisasi bukanlah tentang politik semata tetapi juga produk. Kita mengalami pergeseran dari konsumerisme ke produserisme. Tidak ada yang menghalangi untuk berproduksi.  Semua orang terinspirasi untuk mencipta. Inilah ekonomi Long Tail dengan yang ditulis oleh Chris Anderson dengan kelimpahan dan kematian hukum yang dicetuskan Vilfredo Pareto.

Saya sadar, saya tidak ada dalam posisi hit ketika bergaul dengan teman tersebut sehingga tidak menjadi perhatian utama di bagian head (kepala) pada fokus perhatiannya. Saya hanya berada di bagian tail (ekor) perhatiannya dan ketika perhatian hanya pada head maka ekor menjadi terabaikan.

Anda yang mungkin senasib dengan saya yang berada dalam ekor kurva permintaan tidak perlu kecewa. Mari kita lihat Teori Long Tail, “Kultur dan ekonomi kita terus bergeser menjauh dari fokus terhadap produk-produk hit yang relatif sedikit (pasar utama) di bagian head pada kurva permintaan, dan beralih ke pasar-pasar khusus (niche) yang banyak sekali di bagian Tail”. So…, tetaplah jadi diri sendiri, andaikan anda tidak berhasil di head toh tail pun mempunyai pasar yang semakin membesar.

Ketika anda suka dengan selfie gaya alay, teruskanlah. Ketika anda pemalu, berdiri di pojokkan dan hanya menulis menyendiri di ruang gelap, tetap menulislah. Senang menyannyi dan menari di hiruk pikuk keramaian. Teruslah menghibur orang. Kita menjalani kehidupan dan melakukan apa yang kita senangi sehingga roda berjalan dalam poros masing-masing.

Aku sejenak berhenti merangkai huruf dan bertanya untuk apa terus menulis kata-kata kosong ini. Bukankan lebih banyak pekerjaan lain yang lebih berguna. Apakah tulisan ini hanya sebuah upaya eksis. Sesuai ungkapan “saya menulis saya ada”. Tulisan ini seperti kegenitan para alay ketika selfie dengan muka dilonjongkan dan mata dibelalakkan. Tidak perlu lah mencari pembenaran bahwa tulisan itu lebih intelek dari photo selfie. Sama saja. Tidak perlu pula untuk menyalahkan. Toh,  semua orang melakukannya dengan model dan dosis yang berbeda.

Selfie gaya alay merupakan sebuah pemberontakan  mainstream atas keindahan photo yang absolut dikuasai para suhu photography. Mulai meracau lah aku dan semestinya tulisan ini dihentikan. Tidak, aku tidak akan berhenti menulis, tak peduli bermanfaat atau tidak nya tulisan ini, tidak peduli eksis dan tidaknya keberadaanku….


Biarlah Barang ini Mahal (BBM)


Harga bahan bakar untuk kendaraan bermesin kembali naik, membengkak kan biaya transportasiku. Premium yang 1 minggu bisa dibayar dengan Rp20 ribu untuk sepeda motor ku, kini bisa Rp25 ribu. Ongkos Kopaja 502 yang biasanya Rp3 ribu ikut menyesuaikan menjadi Rp4 ribu. Syukur lah tiket kereta Commuter Line tetap Rp2 ribu. Biaya penitipan motor malah mendahui naik menjadi Rp4 ribu dari Rp 3 ribu. Hmm…, siapalah pelaku kenaikkan BBM yang membebani hidupku.

Aku tidak bisa melawan kenaikan bahan bakar ini. Yang bisa dilakukan adalah menyesuaikan penerimaan dan pengeluaran. Tentu ada sedikit kemarahan karena keterbatasan wawasan dan pola fikir sempit yang aku miliki. Lalu apa hubungan nya bahan bakar ini dengan wawasan.  Yang kubaca dari media masa, bahan bakar ini disubsidi oleh negara dan para pembuat polusi lah yang menikmati nya. Pemilik kendaraan bermesin  yang merasa sebagai kalangan menegah  dengan rasa bangga dan sedikit keangkuhan dan pecicilan membakar uang subsidi itu dan membuangnya secara sembarangan.

Pemberi subsidi tentulah tidak bermaksud membuang uang subsidi. Bahan bakar merupakan barang strategis, serupa dengan beras. Bahan bakar ini menggerakkan anak ke sekolah dengan sepeda motor,  bus sekolah dan mode transportasi lain. Tapi…, sepeda juga sebenarnya bisa. Tapi tentu dengan alasan keamanan dan kecepatan, kendaraan bermesin itu lebih efektif dan efisien dibanding sepeda dari sudut manapun. Seperti biasa kita lebih senang berfikir pendek. Mungkin menjadi berfikir kreatif untuk menjadikan proyek studi banding demi alasan kenapa banyak negara eropa yang jauh lebih kaya, anak-anaknya bisa sekolah dengan bersepeda.

Bahan bakar murah juga membantu pengusaha kecil untuk membuat produk dengan biaya rendah sehingga mampu bersaing. Ini alasan subsidi yang sangat populer.  Sangat wajar mereka mendapat subsidi. Hampir sulit untuk membantahnya. Bahan bakar murah sudah seperti zat addictive yang membuat orang kecanduan. Siapapun yang menaikkan bahan bakar ini akan menjadi public enemy. Dan…. cara mudah menjadi pahlawan jika anda menolak kenaikkan bahan bakar dengan dibumbui isu nasionalisme, rakyat kecil,  dan anti asing. Lagipula hitung-hitungan makro ekonomi masih banyak yang susah menelannya, sedikit pengetahuan yang anda miliki bahwa kekayaan tanah air Indonesia untuk digunakan sebesar-besarnya  bagi kemakmuran rakyat lebih mudah dipahami. Bukankah ini lahan luas bagi opportunis untuk menjadi pahlawan.

Pahlawan pembela orang kecil,  itu sudah jelas. Bahkan tanpa sadar, menjadi pahlawan para penyeludup bahan bakar yang memanfaatkan perbedaan harga antara harga bahan bakar minyak dalam negeri dengan luar negeri. Ada yang bilang karena pengawasan yang lemah. Tapi saya lebih setuju ilmu ekonomi bahwa penyelundupan ada karena ada disparitas harga. Harga yang sama menihilkan penyelundupan sehingga kita tidak perlu banyak cakap tentang pengawasan.

Propaganda yang mengatakan bahwa kita negara kaya raya dengan minyak yang melimpah juga menina bobokan kita. Kita tertidur dan tidak sadar betapa mahalnya ongkos membuat bahan bakar ini. Bahan bakar itu ada di tanahku dan aku layak menghamburkannya.

Syukurlah, masih ada orang berwawasan luas, berfikir jernih dam melihat kedepan. Bahan bakar ini sudah tidak selayaknya disubsidi. Ratusan trilyun subsidi ini bisa untuk membuat jalan yang mulus, pelabuhan yang mendekatkan pulau-pulau, mendirikan sekolah dan pembangunan lainnya. Dan… bukankah jika ini terlaksana bisa membuat ongkos transportasi turun dan barang menjadi murah.

Kehadiran negara bukanlah dengan mensubsidi hal konsumtif yang mudah dibuang tapi dengan mensubsidi barang produktif. Orang tua yang baik bukanlah hanya menjejalkan makanan ke mulut anaknya secara berlebihan tapi juga menyekolahkannya dan memberi tantangan dan sedikit suasana sulit untuk merangsang daya kreatifitas dan biarlah anak belajar menghadapinya.

Saya masih termenung di bis ini, memandang pengendara sepeda motor yang masih bergerak. Bukti bahwa mereka yang mewakili golongan bawah sudah imun dengan naiknya bahan bakar. Pengendara mobil yang mewakili kelompok menengah pun masih membawa mobil. Semua hiruk pikuk ini digerakkan oleh bahan bakar.

Saya berfikir ekstrim, bahan bakar ini Sebaiknya tidak disubsisi tetapi dikenai iuran angkatan masal dan infrastruktrur khusus sepeda sehingga pedestrian lebih lebar jalan khusus sepeda bertambah dan angkatan masal yang nyaman. Kita menjadi tidak sudi membeli bahan bakar yang mahal dan merusak lingkungan.

Ah, sudah lah, kantor sudah dekat. Aku turun dari kopaja dan menutup hidung supaya asap yang keluar dari knalpot kendaraan bermesin hasil pembakaran bahan bakar bersubsidi tidak masuk ke hidung.


menulis perjalanan 6


Sementara atau mungkin akhirnya, muncullah pengakuan, aku bukan penulis tapi pembaca. Jika pun ternyata pernah menulis, maka seorang penulis yang buruk. Jika buruk kenapa harus terus menulis. Tapi jika memang ada yang baik. Dimana sisi baiknya?. Menggali potensi diri mudah diwacanakan namun bukan hal yang mudah dilakukan.

Banyak hal untuk ditulis. Termasuk hal yang remeh, juga menulis perjalanan ini. Tetapi menulis harus dengan hati dan dengan keikhlasan. Teori…, faktanya menulis harus dengan data. Tulisan dibagi menjadi jenis narasi, deskripsi, persuasi dan argumentasi. Lalu apa tulisan ini. Sebuah upaya mendeskripsikan perjalanan dari rumah ke kantor. Sebuah tulisan yang berdasarkan pengalaman pun ternyata memerlukan data. Andaikan harus masuk ke jenis tulisan sesuai buku-buku pelajaran. Tulisan ini tidak akan ada.

Kenekatan dan kegenitan jari ini lah yang memaksa untuk menulis. Menghilangkan rasa hampa, mengisi kebengongan, dan terus mengolahragakan otak. Baik atau buruk sebuah tulisan bukanlah sebuah warna dengan perbedaan hitam putih. Menulis bukanlah untuk memenuhi selera pasar semata. Menulis juga bisa menjadi digestive system yang membawa oksigen dan mengeluarkannya dalam bentuk karbondioksida.

Judul “menulis perjalanan 6” merupakan sebuah lanjutan dari “menulis perjalanan” sebelumnya harus dihentikan dulu. berhenti bukanlah sebuah akhir tetapi sebuah istirahat dari kepenatan, bukan kebuntuan. Sampai kapan pun, aku akan menulis sesuai kemampuan. Inilah penggalan kalimat yang tidak sampai ke tujuan akhir.

——————————————————–

Jalan RE. Martadinata merupakan jalan pertama yang kulalui. Siapa Martadinata. Iseng kubaca sekilas. Search Engine seperti Google tidak tahu tapi ia memberi jalan untuk tahu. Wikipedia yang memberi tahu. Luar biasa. Kita hidup dalam dunia yang terbuka. Dan suka tidak suka, kita harus open mind. Buku-buku yang selama ini berhimpitan di perpustakaan beterbangan. Siapapun bisa mengambil dan membacanya.

RE Martadinata merupakan seorang angkatan laut, ia….

——————————————————–

Ketika akan menceritakan RE martadinata dari hasil gooling. Aku sudah sampai titik jenih dan tertutuplah pintu tersebut. Daripada menghabiskan energi untuk masuk ke pintu yang sudah tertutup lebih baik mencari pintu tulisan lain yang lebih menyenangkan.


merapikankan informasi di otak


Menulis bukanlah sekedar menyampaikan informasi ke pembaca atau melepaskan imajinasi atau pengetahuan penulis. Menulis juga bisa menjadi sarana untuk mengingat dan menggali informasi yang belum valid. Yang baru saya tahu, ternyata menulis bisa menjadi sarana defragmentasi informasi yang ada di otak. Seperti memori yang kita tulis di komputer. Secara rutin kita harus mendefrag file di komputer. Otak kita juga demikian. Salah satu mendefrag otak kita adalah dengan menulis.

Pengetahuan yang sedikit bisa menjadi meluas bahkan bermanfaat bagi orang lain jika ditulis. Hal-hal sepele bahkan bisa menjadi luar biasa jika dibuat dalam bentuk tulisan. Bersyukurlah ketika pikiran mulai terbuka, media untuk menulis pun semakin berserakan. Dari twitter yang hanya terdiri dari 140 karakter, blog banyak yang sudah gratis. Apapun bisa anda tuli,. Baik di status facebook atau social networking lainnya.

Tidak perlu menunggu sampai menjadi buku. Satu huruf pun bisa ditulis dan dipublikasikan. Tentu saja aneh. Tapi lebih baik dari tidak ada. Menulis bukanlah semata menunjukkan existensi. Terkadang menjadi pancing yang menggerakkan orang menulis meski hanya comment yang tidak berguna. Berguna atau tidak berguna sangat relatif.

“Jakarta Cikampek ramai lancar” demikian anda akan menulis status di facebook ketika sedan mudik. Anda tergoda untuk melihat spedometer. Sehingga dilengkapi dengan data. “Kecepatan 80 km per jam” bukankah ini sudah menjadi tulisan dan bermanfaat bagi teman-teman facebook dalam membuat alternatif perjalanan.

“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga”, begitulah personal message seseorang di Blackberry Messanger. Suatu kalimat yang hampir tidak ada artinya. Terkadang memancing sebuah conversation yang kadang sia-sia kadang menjadi transaksi ekonomi yang bermanfaat. Memang kadang lebay, sok eksis dan genit. Tapi ini harus dihargai sepanjang tetap memprioritaskan hal-hal yang jauh lebih berguna.

Berguna atau tidak berguna, menulis itu lebih baik daripada membiarkan teronggok berkarat di otak.


menulis perjalanan 5


“Aku berlindung kepada Tuhan dari politik yang bising”. Doa ini aku baca menjelang peristiwa-peristiwa adanya kompetisi tahta, seperti pilkadut, pemilihan ular kadut, pilkadal, ketua pulau, kepala jalan, penguasa wilayah dan tahta lainnya. Doa terucap karena begitu kerasnya kebisingan politik mengalahkan suara pesawat supersonic. Jalan yang akan kulalui dipenuhi dengan baliho, spanduk, selebaran dan media outdoor- bersesakan masuk ke mata. Suara-suara janji, dukungan fansboy bergerilya memasuki genderang telinga.

Syah saja. Politik sebagaimana dunia lainnya terus berinovasi, berusaha eksis bahkan cenderung dominan ketika dunia terus terpolarisasi dalam sel-sel tersendiri. Hidup semestinya berjalan dalam dunianya sendiri tanpa intervensi atau mendominasi. Saling menginspirasi dan mencerahkan jika memang harus ada keterkaitan.

Di belahan dunia lain. Belgia tanpa pemerintah selama 450 hari lebih. Di sebuah kota kecil yang penduduknya hanya 22 penduduk di Amerika Serikat, tepatnya Dorset, Minnesota. seorang anak balita berumur 4 tahun, Robert Tufts diangkat jadi walikota. Becanda sepertinya. Tapi kehidupan berjalan seperti biasa. Sampah tetap diangkat, ekspor dan impor tetap berjalan dan kedai tetap buka. Begitulah kalau sistem berhasil dibangun untuk jangka panjang dimana semua dunia berhak untuk mandiri. Tentu saja contoh ini ekstrim yang pasti tidak cocok 100 persen dengan tempat lainnya. Tapi ungkapan “good governance is less governing” sangat masuk akal.

Cengkraman zaman lama, ketika politik menggenggam kekuasaan secara masif ke dalam olahraga, seni dan dunia lain yang tidak berhubungan dengan politik telah terbukti menghasilkan sisi positif yang sedikit dibanding negatifnya. Tetapi, politik dengan kekuasaan minimal menjadi tidak menarik. Struktur perlu dibuat melebar dan menjangkau semua lini kehidupan. Seolah-olah semua hidup ini ditentukan oleh politik. Ah, sudahlah. Itu semua diluar jangkauanku.

Jalan kampung yang pertama disambut dengan spanduk “suara bledug suara aneh” dengan photo seorang bapak tua. Ah, andaikan saja diganti dengan photo wajah personil Cheribelle mungkin lebih adem. Berikut nama lengkap dan gelarnya ditulis lengkap untuk menginformasikan tingkat kehebatan akademisnya.

Kenapa harus pusing?. Bukankah kita mempunyai banyak pilihan untuk melihat photo narsis di baliho super besar atau berkonsentrasi mengendarai motor atau melihat sisi keindahan lain. Baliho itu jelas mengganggu tapi sadar atau tidak, saya juga terkadang mengganggu dalam berkendara. Toleransi bisa meluaskan hati, melapangkan jalan, membukakan cakrawala dan menembus batas kebuntuan fikiran. Tidak selamanya toleransi itu baik. Zero tolerance untuk keselamatann vital perlu, bahkan wajib. Lagi-lagi ini semua diluar kekuasaan. Aku hanya mengendarai motor dan semoga selamat bagi diriku dan orang lain. Itu saja…


menulis perjalanan 4


Perjalanan yang kulalui bagai untaian makna nyata kebhinekaan, potret mini Indonesia meski semu dan bias. Setiap hentakan langkah, deru mesin motor, video live dari jendela kereta adalah sebuah rangkaian cerita yang amat sulit bagiku untuk menuliskannya ke dalam beberapa kata yang terbatas. Lain dengan para seniman yang mampu menterjemahkan ribuan view ke dalam beberapa kata singkat. Hebatnya lagi, seniman mampu menulis sebuah kisah singkat, view biasa menjadi tulisan tanpa akhir yang menarik dan addicted.

Tentu saja, aku belum mampu seperti itu. Tulisan ini hanya didorong dengan keyakinan bahwa semua hal berhak untuk exist, terdokumentasi dalam bentuk apapun. Himpunan kata, photo, lukisan menjaadi informasi sampah bagi sebagian orang dan mungkin berguna bagi yang lainnya. Andaikan belum sampai ke level itu pun, setidaknya syahwat menulis sudah tersalurkan dengan wajar.

Ketika langkah kaki melangkah di pagi hari. Langkah ini bukanlah sebuah langkah sendiri. Jutaan orang melangkah di pagi hari dengan harapan yang membumbung tinggi. Pagi adalah awal aktifitas yang paling sibuk. Ketergesaan dan tergopoh-gopoh bahkan berlari. Antrian ke kamar mandi, sarapan hanya beda satu huruf dengan harapan dan berlanjut ke tempat beraktifitas di tengah laju waktu yang tidak mengenal ampun. Kesibukan lebih parah terjadi pada hari Senin sehingga jutaan orang mengutuknya, “I Hate Monday”.

Aku sebenarnya membenci motor ini. Ia individualis (bisa sih muat 2 orang), penyumbang polusi dan rawan kecelakaan. Motor juga menjadi sumber makian pengguna jalan. Menyerebot trotoar dan sering menggunakan ruang sempit untuk menyalip meski berbahaya. Apa daya, public transportation belum layak. Mau beli rumah di pusat kota belum mampu. Pada akhirnya, aku mencintai motor. Damn, I love it.

Potret pertama setelah keluar rumah adalah gardu satuan pengaman (satpam). Gardu satpam, tidak hanya tempat berlindung satpam dari terik panas dan hujan. Tapi juga simbol bahwa komplek perumahan ini aman karena ada satpam atau bukti bahwa wilayah itu tidak aman sehingga perlu ada pos satpam. Tergantung dari angle mana anda melihatnya.

Sebuah kompleks perumahan terasa tidak lengkap jika tidak ada pos satpam. Wajib hukumnya. Jika masih merasa belum aman, dibuat beberapa pos alakadarnya. Ruang hijau dan daerah resapan air tentu
Menjadi prioritas dengan skala rendah dibading rasa aman. Dengan alasan rasa aman dan overconsumption, cacing-cacing tanah dan rumput serta mahkluk hidup lainnya dibasmi secara tidak langsung karena manusia terlalu kuat secara temporer dibanding mahluk tersebut. Pada akhirnya, hukum alam lah yang berbicara. Air mengalir ke tempat rendah. Tak peduli, apakah di tempat rendah itu orang baik atau orang jahat. Ozon semakin menganga, tak peduli, apakah pelaku pelepas karbondioksida itu orang baik atau orang jahat. Ah, sudahlah…

–continued–


janji kampanye biaya berobat gratis itu menyesatkan dan membahayakan


“Kita tentu aja senang kalau berobat gratis, jadi kita harus pilih Tuan Pulan menjadi wedana yang menjanjikan biaya berobat gratis, masak orang miskin tidak boleh sakit. Negara itu mestinya menjamin kesehatan warganya”

“Lu pernah mikir ga, berapa biaya berobat?, siapa yang bayar biaya rumah sakit, siapa yang bayar dokter, siapa yang bayar obat, siapa yang bayar gedung rumah sakit mewah ntu?”

“Ya wedana itu, makanya ia mau menjanjikan biaya kesehatan gratis”.

“Heh, lu kira, wedana ntu punya uang se ember apa?. Lu lihat aja ntu calon wedana kita ini, iuran buat bayar jalan di gang depan rumahnya aja belon kebayar”

“Otak lu aja yang cetek, yang bayar itu, maksud gue ya APBD, lu tahu ga apa itu APBD?”

“Halah sok tahu luh, lu pernah lihat angka APBD, bisa jebol tuh APBD bayar biaya rumah sakit”

“Makanya calon wedana ini pasti sudah menghitung, berapa alokasi biaya buat biaya kesehatan warganya”

“Lu tanya sendiri aja deh ke calon lu, berapa biaya kesehatan untuk jutaan warganya, gue yakin ga bakal ngerti”

“Bodo amat, kalau janji harus ditepati”

“Nah ini nih, kenapa si Amat jadi bodo. Yang tahu biaya kesehatan per orang itu orang asuransi. Khususnya asuransi kesehatan. Di Asuransi itu ada aktuaria yang bisa menghitung biaya kesehatan seseorang”

“Sok tahu luh, maksudnya gimana, emang aktuaria itu Tuhan, bisa tahu berapa biaya kesehatan seseorang di masa yang akan datang”

“Gini aja deh, keep it simple. Orang yang suka minuman keras, begadang, dan merokoknya, kemungkinan sakit nya lebih besar dibanding orang yang hidup teratur. Orang yang suka berolahraga futsal, kemungkinan cederanya lebih besar dibanding atlet catur”

“Ah pemikiranmu terlalu rumit. Buktinya, ada kawedanaan yang bisa berobat gratis. Gue lihat sendiri di media masa”

“Masalahnya ntu orang sakit apa?. Biaya berobat sakit perut itu beda jauh sama biaya operasi jantung”. Dokter jantung juga meski dibayar mahal karena keahliannya, belum lagi harga peralatan rumah sakit yang muahalnya minta ampun”. Lu tahu ga, biaya operasi jantung, kanker otak bisa menghabiskan biaya ratusan juta. APBD kita bisa habis”

“Heh, calon wedana kita itu lebih pintar dari lu. Pasti dia mengalokasikan APBD untuk bayar premi asuransi. Jadi kalau sakit yang bayar ya perusahaan asuransi. Jadi rasional dan cerdas dong”

“Sekarang, gue tanya, berapa besar premi per orangnya. Terus dikalikan dengan jumlah penduduk. Modar dah tuh APBD. Dan inget ya, besar premi asuransi kesehatan tergantung dengan kesehatan seseorang. Semakin besar resiko sakit semakin besar preminya. Masa orang mabok disamakan dengan orang sehat”

“Ah, terserah elu dah, pokoknya gue sih pilih calaon wedana yang mampu membiayai kesehatan warganya”

“Sekarang gini aja, mending hidup sehat, apa mending hidup sakit tapi dibayarin kalau sakit”

“Pertanyaan lu itu bodoh, ya mau hidup sehat dong. Tapi kalau sakit dibayai hehehe”

“Nah kalau gitu, kenapa tidak berfikir lain. Daripada dana APBD buat bayar premi asuransi, kan mending buat sarana olahraga atau fasilitas yang membuat warganya sehat. Biaya kesehatan diserahkan ke perorangan. Kalau mau sehat ya hidup sehat kalau takut sakit bayar premi asuransi dan biarlah orang asuransi yang jauh lebih mengerti berapa biaya kesehatan seseorang”

“Ah elu tuh, kayaknya agen asuransi”

“Biaya berobat gratis itu, seperti mengajarkan hidup tidak sehat dan sejorok apapun elu, kalau sakit ditanggung negara. Fikiran yang edan”

“Hmmm, elu tuh berburuk sangka terus, dosa tahu!!!”

“jiahhh”


back to write


Aplikasi wordpress yang baru diinstall ini versi 1.6.5. Beberapa bulan yang lalu, beragam alasan berhasil mendowngrade semangat untuk menulis. Aku tidak tahu, alasan mana yang paling tepat. Apakah aplikasi wordpress yg bermasalah, handset blackberry dengan OS versi 7.1 yg ketinggalan zaman atau jaringan Telkomsel yang berjalan seperti kura-kura. Yang kutahu, alasan itu nonsense. Yang terpenting itu bagaimana menggairahkan dan menerbangkan passion untuk kembali menulis.

Alasan itu disempurnakan dengan adanya galaxy tab dengan android yang konon lebih kencang dan murah. Tetapi fakta lain yang diluar dugaan, galaxy tab dikuasai 2 bidadari kecilku. Android dengan playstore yang aplikasi gretongannya berserakan memberi sedikit waktu bagiku untuk memeluk android dan tentu saja aku harus berhemat. Paket full service harus turun menjadi paket sosialita yang hanya bisa akses media sosial tok.

Kereta juga memberi andil untuk lebih menikmati musik dengan earphone daripada ga ada kerjaan menekan-nekan keypad ditengah sesak penumpang. Dengan kesesakan yang luar biasa, anda akan dianggap orang tidak punya sense atau mempunyai rasa egoisme yg keterlaluan.

Membuat alasan jauh lebih mudah dibanding mencari solusi. “Back to write” ini kembali muncul ketika tiba-tiba ketiban tugas menjadi admin milis di sebuah forum. Blackberry memberi sedikit kenyamanan dibanding mengakses internet di PC.

Twitter juga pernah memberi godaan untuk menjauh dari dunia blog. Anda mempunyai sedikit ide bisa langsung publish. Dan ketika sudah banyak bisa di chirpstory. Cepat dan tepat. Namun twitter mempunyai keterbatasan twitt. Anda hanya boleh menulis 140 karakter. Meskipun bisa dichirpstory tetap saja terasa tidak nyaman.

Akhirnya dengan mengucap bismillahirrahmaanirrahiim, insya Allah, I Will back. Baik dan indah seperti berlian atau buruk dan bau seperti sampah, I will keep writing.


tulisan sampah


Bungkus bawang merah itu terbuat dari kertas koran terbitan tahun entah berantah. Kertas koran tersebut sudah tidak punya value lagi jika dilihat dari sisi contentnya karena memuat informasi yang sudah kadaluwarsa. Kertas koran tetap berguna dan pedagang sembako mempunyai pandangan go green dengan cara reuse sehingga kertas koran dapat digunakan untuk membungkus bawang merah, cabe rawit, ketumbar dan bumbu masak lainnya.

Mungkin, mata dan perasaan saya tidak normal karena masih tertarik dengan isi koran itu. Gambar dan beberapa rangkai kata sering membuat mata ingin melihatnya. Rasa ingin tahu dan penasaran selalu berkecamuk. Dan otak segera mengintruksikan tangan untuk memindahkan bawang ke meja sehingga menjadi berantakan. Indera mata dengan ganas melibasnya.

Mataku mempunya daya baca yang luar biasa, sayangnya, otak mempunyai daya simpan yang lemah. Materi bacaan menempel sesaat di otak dan sering hilang entah kemana ketika disearch. Akibatnya otak menjadi kurang pintar dan membaca menjadi seperti sebuah kegiatan yang tidak berguna.

Tentu saja, kualitas bacaan juga berpengaruh. Tulisan tentang informasi kejahatan tidak ada manfaat sama sekali ketika sedang mengisi soal ujian TOEFL. Kualitas bacaan akan berpengaruh terhadap pengetahuan anda. Mungkin tidak langsung. Perlahan tapi pasti, baik atau buruknya isi tulisan akan mempengaruhi baik atau buruknya anda. Seburuk-buruknya dampak tulisan itu lebih baik daripada tidak membaca.

Membaca bukanlah satu-satunya jalan untuk pengetahuan. Kita tentu pernah mendengar, saya dengar saya lupa, saya lihat saya ingat, saya kerjakan saya mpaham. Practice lebih baik daripada hanya membaca. Setelah practice, tingkat lebih tinggi adalah menulis tentang pengetahuan yang dipahami. Anda akan menuju tingkat expert.

Membaca bungkus bawang mungkin menjadikanku berpengetahuan sesempit dan sekecil bawang. Beda jauh dengan bacaan buku mewah terbitan luar negeri. Ternyata tidak seperti itu, kertas sampah ini terkadang berisi jendela kekaguman bahkan kemewahan. Kertas koran ini sering membawaku ke ruang tamu gubernur, ke lapangan olahraga, bahkan peperangan yang mengerikan. Kertas koran ini sudah menjadi sampah tapi tetap setia memberi informasi. Tidak mungkin me.

Tulisan merupakan sebuah produk, bahkan sebuah seni. Sama seperti sebuah sepatu, pensil, kendaraan atau sebuah produk tak terlihat. Mungkin hanya sebuah produk sampah, mungkin pula sebuah produk berkualitas tinggi, atau sebuah produk unik dan segmented. Ada yang menyukai dan mencintainya, ada yang membenci dan memakinya. Semua orang berhak untuk mempunyai penilaian sendiri.

Ingin sekali, aku membuat sebuah tulisan dengan kualitas kelas atas. Tapi, aku harus menyadari untuk membedakan antara keinginan, mimpi dan hayalan orang gila. Kenyataan baik atau buruk harus dihadapi dan diterima sebagai sebuah kebahagiaan dengan rasa syukur. Tulisan buruk seperti sampah yang mungkin secara tidak sengaja terbaca oleh anda terkadang sebuah bias antara keinginan dan kenyataan.

Aku sering memaki berita dari media yang tidak ada gunanya atau hanya berisi informasi yang berisi rasa iri dan kedengkian, sinetron yang hampir kosong akan nilai kemanusiaan universal. Tapi makian bukanlah hal yang indah. Toh, tulisanku pun sering seperti sampah dimana banyak orang mungkin mencacinya.

Jalan nyaman untuk menghindari cacian adalah berdiam diri sehingga nihil kesalahan tapi ini mengakibatkan hilangnya eksistensi kehidupan. Sebuah cara yang sangat salah. Kesalahan meupakan sebuah risiko ketika melakukan kemajuan. So, apapun yang terjadi, terjadilah. Aku akan tetap menulis mesti sebuah tulisan sampah dimanana beberapa orang menutup hidungnya namun beberapa orang ada yang mengharapkan kehadirannya.


follow my fingers


Aku tidak yakin untuk mampu menulis masalah teknis. Mungkin mampu, tapi sering ada rasa ragu dan gamang akan kebenarannya. Menulis harus dibuat dengan sebenar-benarnya dan selogis-logisnya. Jika ini suatu keharusan, aku tidak yakin mampu menulis. Tulisan sering berada dalam kondisi keterbatasan dan perasaan waswas akan nilai dari sebuah tulisan. Beberapa paraghrap berhasil dibuat dan seringkali ingin mendeletenya. Keputusan untuk mempublish atau hanya dibiarkan teronggok dalam phone draft bahkan mendeletenya ternyata memerlukan keberanian yang luar biasa.

Google, bing, dan search engine lainnya memberikan pintu yang sangat luas untuk akses ke wikipedia, portal, blog dan informasi lainnya yang bertebaran di internet. Aku bisa meminimalkan kesalahan tapi aku harus mengorbankan waktu untuk browsing dulu sebelum menulis dan mencari literatur yang relevan. Mungkin sepadan. Kualitas berbanding lurus dengan waktu.

Beberapa orang dikarunia kecerdasan menulis diatas rata-rata. Mampu menulis dengan kualitas tinggi dalam waktu yang singkat. Beberapa orang menulis dengan hati dan cinta dan menuangkannya dalam tulisan dengan cara yang mengagumkan. Mereka mampu menyandarkan hidup dari tulisan.

Sayang, aku belum masuk dalam golongan tersebut. Aku masih dalam kategori belum mampu. Aku menulis hanya untuk membunuh waktu yang tidak semestinya terbuang, memulihkan sel otak yang sering tertidur ketika tidak dipakai dan memaksa mata untuk membaca. Membaca menjadi aktifitas yang kurang menyenangkan ketika tidak ada kejelasan mana bacaan yang perlu dan mana bacaan sampah. Menulis menjadi alat ampuh yang menarik ketika malas membaca.

Teknik menulis, tips menulis, pelatihan menulis sudah tersedia di depan mata. Tapi teori lebih mudah dibaca daripada dipraktikan. Praktik menulis lebih mudah dilakukan namun dengan kualitas seadanya daripada teori yang menjemukan. Jika terus menerus memperdebatkan teori dulu apa praktik dulu maka hasilnya sebuah kertas kosong atau file dengan dengan kapasitas dibawah 10 kb. Cara terbaik bagiku adalah dengan mengikuti kemana jari mengetuk ngetuk keypad atau keyboard. Follow my finger.

Ini seperti sebuah dilema atas pilihan yang aneh. Pintar dulu baru menulis atau menulis dulu untuk menjadi pintar. Kita terkadang berada dalam suatu ke-tidak-ideal-an. Kapan aku akan mencapai level pintar?. Ketika waktu terus bergerak maju dan jumlah umur terus bertambah, aku sering merasa menjadi lebih bodoh dari hari-hari kemarin.

Akhirnya, aku membiarkan jari bergerak liar dan terkadang sok tahu menulis hal-hal yang diluar kapasitas otak. Ini bukan pilihan terbaik. Tapi ini sebuah pilihan yang lebih baik dibanding mengikat jari-jari karena menunggu hal ideal.